Jumat, 10 Desember 2010

Motinggo Boesje Menurut Wikipedia


Motinggo Busye yang bernama asli Bustami Djalid (lahir di Kupangkota, Bandar Lampung, 21 November 1937 – meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999 pada umur 61 tahun) adalah seorang sutradara dan seniman Indonesia.

Asal usul
Motinggo lahir dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub yang berasal dari Minangkabau. Ibunya berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab. Ketika usianya mendekati 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo diasuh neneknya di Bukittinggi hingga ia menamatkan SMA disana. Motinggo kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (tidak tamat).

Nama Gelar
Motinggo merupakan nama pena Bustami yang berasal dari Bahasa Minang: mantiko. Kata tersebut memilki makna antara sifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Namun mantiko dalam diri Motinggo bukanlah berkonotasi negatif. Untuk itu dia menambahkan kata bungo (bunga) dibelakang nama samarannya itu, sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Busye. Selain nama pena dan nama pemberian orang tua, sesuai Adat Minangkabau, Motinggo juga memilki nama dewasa (gelar) yaitu Saidi Maharajo.

Karier
Awal karier Motinggo dalam dunia tulis menulis, dimulai ketika perwira Jepang Yamashita datang ke rumahnya memberi mesin ketik. Mesin itu akhirnya menjadi sahabat Motinggo untuk mencurahkan ide-idenya. Selain itu, persentuhannya dengan buku-buku sastra Balai Pustaka, telah menumbuhkan minatnya untuk terjun di dunia sastra. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, "Nasehat buat Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain Bahasa Ceko, Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Jepang, dan Mandarin. Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Sepanjang hidupnya Motinggo telah menulis lebih dari 200 karya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan kongres di Washington, D. C.. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia.

Selain terlibat dalam dunia sastra dan drama, Motinggo juga menyukai melukis. Pada tahun 1954, sebuah pameran lukisan di Padang pernah menampilkan 15 lukisan karya Motinggo.

Daftar karyanya yang lain
* Malam Jahanam (novel, 1962)
* Badai Sampai Sore (drama, 1962)
* Tidak Menyerah (novel, 1963)
* Hari Ini Tak Ada Cinta (novel, 1963)
* Perempuan Itu Bernama Barabah (novel, 1963)
* Dosa Kita Semua (novel, 1963)
* Tiada Belas Kasihan (novel, 1963)
* Nyonya dan Nyonya (drama, 1963)
* Sejuta Matahari (novel, 1963)
* Nasehat buat Anakku (kumpulan cerpen, 1963)
* Malam Pengantin di Bukit Kera (drama, 1963)
* Buang Tonjam (legenda, 1963)
* Ahim-Ha (legenda, 1963)
* Batu Serampok (legenda, 1963)
* Penerobosan di Bawah Laut (novel, 1964)
* Titian Dosa di Atasnya (novel, 1964)
* Cross Mama (novel, 1966)
* Tante Maryati (novel, 1967)
* Sri Ayati (novel, 1968)
* Retno Lestari (novel, 1968)
* Dia Musuh Keluarga (novel, 1968)
* Sanu, Infita Kembar (novel, 1985)
* Madu Prahara (novel, 1985)
* Dosa Kita Semua (novel, 1986)
* Aura Para Aulia: Puisi-Puisi Islami (1990)
* Dua Tengkorak Kepala (1999).

Dari : id.wikipedia.org

Motinggo Boesje



Ia sering menulis buku-buku saku yang biasanya di jajakan di restoran-restoran. Ia pengarah akhli bercerita, ia berkecendrungan yang cukup besar untuk terlalu memperhatikan kecil-kecil pada saat ia mengabaikan peranan hal yang lebih besar dan penting dalam keseluruhan jalan cerita. Inilah ciri khas Boesje bercerita.



Nama :Bustami Djalid

Lahir :Lampung, 23 Nopember 1937

Wafat :Jakarta ……..

Pendidikan :SLA Bagian C Bukit Tinggi

Karya Novel :Bibi Marsiti (1964)

Novel-Novel yang di filmkan :

Di Balik Pintu Dosa (1970)

Tiada Maaf Bagimu (1971)

Insan Kesepian (1971)

Film-filmnya:

Tjintaku Djauh Dipulau (1971),

Takkan Kulepaskan (1972),

Si Rano (1973),

Sebelum Usia 17 (1974),

One Way Ticket (1976), Sejuta Duka Ibu (1977)



Sewaktu masih siswa SLA bagian C di Bukit Tinggi, Boesje telah giat menulis dan berdrama. Tahun 1952 mengisi acara sandiwara radio RRI studio Bukittinggi, sambil belajar melukis bersama Delsy Syamsumar pada Wakidi. Kemudian dia ikut mendirikan Himpunan Seniman Muda Indonesia-Sumatra Tengah dan menjadi Pemimpin majalah Kebudayaan organisasi itu. Karya-karya sastranya kala itu banyak dimuat dalam harian dan majalah di Bukittinggi, Padang dan Jakarta. Kegiatan seninya makin berkembang dan intensif setelah dia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta.



Karya-karya tulis dan dramanya makin dikenal di berbagai kota. Tahun 1958, Boesje memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama P&K untuk naskahnya Malam Djahanam, naskah drama ini kemudian di filmkan Pitradjaja Burnama di tahun 1970.



Karya-karya Boesje sampai terbitnya novel Bibi Marsiti”di anggap para kritisi sastra sebagai karya-karya sastra. Novel Bibi Marsiti”tahun 1964 yang dapat serangan dari kelompok Lekra ini, merupakan titik awal peralihannya kepenulisan yang lebih popular sifatnya.



Perubahan ini mendapat kritikan tajam dari kalangan sastra, sehingga Boesje “diadili” para sastrawan waktu dia berceramah tentang karya-karyanya di TIM tahun 1969. Sementara banyak pula peninjau sastra dari luar negeri yang menghargainya. Corak penulisannya ini kemudian banyak diikuti orang. Novel-novelnya dari masa inilah yang banyak difilmkan orang, antara lain Di Balik Dosa”tahun 1970, Tiada Maaf Bagimu tahun 1971 dan Insan Kesepian tahun 1971.



Boesje memasuki dunia film sebetulnya sejak tahun 1960 ketika ceritanya Si Pendek dan Sri Panggung” di filmkan Sutradara Alam Surawidjaja dan dia menjadi Pembantunya. Kemudian pada 1960 juga dia menjadi Pembantu Sutradara Rd. Arifin untuk film Di Balik Dinding Sekolah”tahun 1961. Tetapi setelah kedua film itu, Boesje kembali menulis dan berdrama.



Dia kembali ke film untuk menyutradai Biarkan Musim Berganti”tahun 1971 lebih banyak didorong ketidakpuasannya melihat film-film yang diolah dari ceritanya. Selain menulis naskah drama, cerita bersambung dan sebagai sutradara film, Boesje juga melukis. Ia sempat berpameran bersama para pelukis Jakarta di Balai Budaya dan juga di TIM. Terutama dengan HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta), sastrawan yang pelukis ini banyak mengisi waktu dan hari-harinya berdiskusi di Balai Budaya dan di salah satu kios makan di TIM. Beliau wafat karena serangan penyakit gula yang akut.



MOTINGGO BOESJE 1960-1978

TAKKAN KULEPASKAN 1972 MOTINGGO BOESJE
SEMOGA KAU KEMBALI 1976 MOTINGGO BOESJE
BING SLAMET DUKUN PALSU 1973 MOTINGGO BOESJE
SEBELUM USIA 17 1975 MOTINGGO BOESJE
TJINTAKU DJAUH DIPULAU 1972 MOTINGGO BOESJE
BIARKAN MUSIM BERGANTI 1971 MOTINGGO BOESJE
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
SEJUTA DUKA IBU 1977 MOTINGGO BOESJE
JALAL KOJAK PALSU 1977 MOTINGGO BOESJE
JALAL KAWIN LAGI 1977 MOTINGGO BOESJE
SI PENDEK DAN SRI PANGGUNG 1960 ALAM SURAWIDJAJA (Actor)
BAHAYA PENYAKIT KELAMIN 1978 MOTINGGO BOESJE
SI RANO 1973 MOTINGGO BOESJE



Dari indonesiancinematheque.blogspot.com

Banjir Buku Di Tahun19 77


17 SEPTEMBER 1977
Ledakan dalam semusim ?
AYIP Rosidi, direktur Pustaka Jaya menerbitkan buku 100 judul dalam setahun. Melihat gejala banjir buku sekarang ia berkata: "Novel pop itu seperti wabah komik pada tahun-tahun lalu." Ia menarik garis persamaan dengan apa yang terjadi pada dunia layar putih. "Kayak film saja," katanya menjelaskan. "Kalau banyak film maju, banyak yang bikin film nanti kalau gagal atau kalau film jadi sepi, pemilik modalnya kembali ke bidang yang semula ditekuninya -- seperti pengusaha kayu misalnya yang sekarang jadi penerbit."

Ucapan ini agaknya tidak datang dari rasa keki terhadap kegesitan para penerbit buku saku yang sukses merebut pembeli. Ayip mengaku secara komersiil Pustaka Jaya tidak disaingi oleh penerbit "novel pop." Ia membenarkan soal pengaruh memang ada. Tapi ia tidak khawatir, karena yakin buku-buku sastra yang menjadi bagian penting dari penerbitannya mempunyai publik tersendiri. Apalagi ia berani mengatakan bahwa sekarang oplah buku-bukunya sudah mendapat kemajuan dibandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1971.

Salah seorang staf ahlinya Yus Rusamsi dengan bangga mengatakan bahwa Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini serta juga La Parka oleh pengarang yang sama, yang dicetak dengan oplah 10 ribu, belum satu tahun sudah mengalami cetak ulang. Tapi ia mengakui juga bahwa buku sastrawan tersohor, Asrul Sani dan Umar Kayam, misalnya, yang dicetak 5 ribu, tak bisa ludas meski telah melewati tahun ke-5.

Berbeda dengan Ayip, Matumona, seorang pengarang kawakan (67 tahun) melihat pada kehidupan novel pop dengan optimis. "Nafsu baca masyarakat sangat besar," ujar lelaki berstatus staf senior di penerbit "Analisa" ini. Mendampingi PP "Analisa" sejak berdirinya di tahun 1958, ia yakin. "Novel pop akan awet pasarannya," katanya sambil mengenangkan betapa hebatnya amukan buku-buku PP "Analisa" pada tahun 50-an. Seri-seri seperti Les Hitam dan Bandit-bandit Ibukota dai pengarang SB Chandra sempat tergenggam di tangan begitu banyak kalangan di masa itu.

Misalnya saja ia dengan ironis kemudian menyambung, saat keawetan itu memberikan pula kondisi, yakni buku-buku haruslah "berbau porno." Persyaratan Matumona memang benar, kalau kita membalik kehidupan buku di tahun 50-an. Juga barangkali tidak salah untuk periode tahun 60-an di jaman buku-buku "Tante", baik "Tante Girang" maupun "Tante Rose."

Tapi untuk tahun 70-an ini, salah seorang pengarang buku "Tante" itu sendiri, Motinggo Boesye mencoba memberikan alasan lain, untuk kenaikan penerbitan buku. Ia melihat itu semua diakibatkan oleh adanya kemajuan tehnik penulisan para pengarang. "Seperti juga kemajuan majalah-majalah kita sekarang, kita memiliki kemajuan tehnik yang baik," katanya. Selain itu ia melihat adanya keinginan para pengarang untuk memberikan hiburan ringan pada para pembaca, yang memang tarafnya masih taraf ikut-ikutan saja. Hal ini tidak terpenuhi oleh penerbit seperti Pustaka Jaya yang ingin jadi penegak nilai sastra yang tinggi. Tapi ia akibatnya ditinggalkan oleh para pembaca biasa, karena dianggap sebagai santapan orang-orang tertentu saja. "Apa yang mereka cari tidak ditemui di buku-buku Pustaka Jaya," kata Boesye.

Penerbit Cypress yang berkantor di Jalan Juanda, adalah salah satu penerbit yang berdiri justru karena adanya angin buku. Desember tahun lalu, Ebet Winata, 29 tahun, yang bermula seorang pedagang lukisan, bersekutu dengan Teddy Cahyadi, 42 tahun. Mereka mulai dengan novel Ali Shahab Ranjang Siang Ranjang Malam.

Baru sekitar bulan Mei, empat bulan yang lalu, mereka benar-benar mencelup dengan serius. Penerbitan mereka yang tadinya juga disertai dengan menerbitkan kamus, menerbitkan beberapa buah buku terjemahan, kini gencar membangunkan tidur pengarang-pengarang domestik. Tak kurang dari 15 orang pengarang dapat dirangkulnya dengan sekitar 40 buah judul, yang sebagian sudah diorbitkan secara bergantian.

Dengan modal sebuah mesin IBM dan 10 orang pegawai tetap, penerbit yang kantornya kelihatan masih darurat ini, mampu menerbitkan 10 judul buku setiap bulan. Jumlah ini direncanakan akan dipertahankan sampai bulan Desember ini. "Saya yakin bisnis buku akan berlangsung terus, tetapi memang akan ada pilihan," katanya pada TEMPO. Yang dimaksudnya adalah bahwa minat baca akan tetap, tetapi akan ada seleksi dari pembaca untuk buku-buku yang benar-bellar mereka butuhkan. Contohnya: buku-buku terjemahan semula bisa dicetak antara 4-5 ribu untuk setiap judul. Dengan mencuatnya pengarang domestik, jumlah itu menciut jadi 2 ribu saja.

Untuk itu Teddy justru mengatakan menjauhi pornografi. "Siapa pun menulis untuk Cypress kami buka pintu, asal jangan porno, asal temanya ringan dan bahasanya sehari-hari. Ditandaskan pula oleh rekannya Ebet. "Saya memang menerbitkan karya-karya mereka yang sudah terkenal sebagai penulis buku pop, seperti Boesye dan Edy D Iskandar, tapi di samping itu saya ingin juga memperkenalkan kepada para pembaca para pengarang sastra," katanya dengan serius.

Cypress bahkan pernah mengeluarkan 4 buah novelet dengan gambar-gambar sampul surealis. Hal ini amat menyimpang dengan gambar-gambar realis bukunya terdahulu yang selalu dikerjakan oleh ilustrator Tony G. Sebagai akibatnya, buku ini seret lakunya, karena para toko buku ngeri untuk memajang, takut sia-sia dalam penjualan. Tapi ia punya keberanian untuk, pasang iklan. Bahkan ia berani mengeluarkan 10% dari budget untuk publisitas lewat poster dan spanduk. Untuk judul Dunia Tak Bermusim, Cowok Komersiil dan Sok Nyentrik, ia menyebarkan masing-masing sekitar 25 buah spanduk di seluruh jalan Ibukota. Keberahian ini ternyata berimbang kemudian dengan jumlah penjualan ketiga judul buku tersebut. Rata-rata ia mampu mengoper 5 ribu buku dalam tempo hanya 3 bulan. Jumlah ini baru bisa dihabiskan oleh penerbit seperti Pustaka Jaya dalam tempo 5 tahun.

Menurut Ebet, meskipun ada kesulitan dalam sirkulasi buku karena tidak banyaknya toko-toko buku, terutama di daerah, toh lingkupnya sudah meliputi seluruh Indonesia. Bahkan beberapa agen menyatakan, sering buku baru dapat mencapai daratan Malaysia sampai sekitar 50 buah. Ini lebih meyakinkan lagi adanya harapan bagi para penerbit.

Ancaman sewaktu-waktu bisa me keret lagi, tentu saja tetap ada. Siapa tanu pula apa yang dikatakan oleh Jayusman pemilik usaha penerbitan Bhratara benar-benar terjadi. Bahwa "ledakan" buku bacaan kini tak akan lama. "Itulah sebabnya saya tidak ikut-ikutan ke sana," katanya, meskipun pendapat ini kedengarannya agak aneh. Bhratara tetap dengan porsi terbesar untuk buku Ilmiah.

Memang sudah ada tanda-tanda surut dalam "ledakan" kini. Seperti yang dikatakan oleh Rudy Sujana Wirawan, 37 tahun, pemilik Pemancar Kumala: "Dibandingkan dua tahun lalu, pasaran novel sekarang turun lagi - lakunya tidak begitu cepat." Khusus terhadap komentar Pancar Kumala yang telah mencetak 17 buah judul untuk tahun ini, kemunduran itu mungkin disebabkan karena 10 judul di antaranya terjemahan. Sisanya baru asli termasuk Regina Tercinta dan Wanita Sepi Hati - kedua-duanya milik Motinggo Boesye.

Novel terjemahan memang sepanjang pasaran yang berkecamuk sekarang tak pernah mencapai cetak ulang. Kabarnya hanya berhasil dijual sebanyak 2 ribu buah, paling sedikit untuk masa 6 bulan. Selanjutnya akan menjadi stok mati, ditutup oleh judul-judul baru terutama oleh karya asli.

Beberapa penerbit baru, mungkin satu ketika akan menyerah juga kalau keadaan pasaran memang loyo lagi. Bagaimana pun ini separuhnya memang usaha dagang. Tapi yang jelas, sudah ada usaha untuk mendekatkan buku pada pembaca, baik dari segi teknis maupun isi.

Penerbit berusaha memberikan bentuk yang menarik, sedangkan pengarang di samping keras kepala dengan ide-idenya, cukup menghiraukan faktor hiburan dalam karya-karyanya. Kombinasi ini mungkin menyebabkan buku bukan lagi merupakan harta yang seram meskipun kemudian lahir istilah "novel pop" yang sering diucapkan dengan sedikit mengejek.

"Kurt Vonnegut, misalnya, di Amerika dianggap sebagai novelis pop, tapi bobot bukunya tergolong lumayan, seperti yang berjudul Slaughterhouse Five, " kata Marianne Katoppo, mencoba sedikit membela.

Dari : majalah.tempointeraktif.com

Gambaran Dunia Buku Hiburan di Indonesia 1978


14 JANUARI 1978
Sekedar mempertebal asap dapur
SYABERAWI adalah laki-laki berusia 40 tahun. Pekerjaan sehari-hari secara resmi, pegawai kantor pos setempat, kota Martapura Kalimantan Selatan.

Isteri Syaberawi tergila-gila pada bacaan komik yang berisi ceritera silat. Setiap hari sambil belanja di pasar, selain sayur dan lauk yang dibelinya, ada pula setumpukan buku silat yang dipinjam berdasarkan sewa. Sering, "lauk bertambah kecil, sedangkan tumpukan buku yang dibawa bertambah besar," ujar Syaberawi.

Jengkel karena uang dapur digerogoti untuk menyewa komik, sementara nafsu isteri untuk membaca tidak dapat dibendung, dijuallah kendaraan satu-satunya yang dimilikinya. Sebuah sepeda motor DKW. Dia percaya bahwa Tuhan maha pemurah dan setiap orang bisa mencari rezeki kalau saja dia mau berusaha. Uang hasil penjualan DKW itu dia belikan buku-buku komik dan sebuah kios yang terbuat dari papan dan seng.

Tidak Paceklik Kini, di sisi Balai Pemuda di kota Martapura, kios buku Syaberawi cukup banyak dicari orang. Selepas magrib, Syaberawi menyalakan lampu stromkingnya. Kiosnya mulai dibuka sekitar jam 19.00. Satu-satu para langganan muncul. Ada yang mengembalikan sebuah dua buah buku.

Tidak jarang ada yang membawa sebakul buku yang harus dikembalikan. Ini yang tergolong kutu buku. Ada pula yang datang cuma untuk numpang baca di tempat. Sewa setiap jilid buku komik, Rp 15 sehari. Sebuah novel yang lagi Pop, Rp 50. Tumbuhnya berbagai cergam, buku silat atau novel, telah menaikkan rezeki penyewa buku dengan lebih lumayan.

Kalau cuaca baik, kios dibuka sampai jam 11.00 malam. Tidak jarang, tengah malam rumahnya toh digedor orang, sementara dia sedang nyenyak tidur. Bukan apa-apa, itu cuma seorang pembaca silat yang kecanduan dan ingin membaca ceritera lanjutannya malam itu juga. "Biasanya mereka yang kecanduan membaca ceritera silat karangan Kho Ping Hoo," ujar Syaberawi. Apa boleh buat, langganan adalah raja. Syaberawi pun bangun dari tidurnya dan biarpun gerimis, dia berjalan setengah melek menuju kiosnya untuk mengambil buku yang dikehendaki si pecandu.

Pecandu Kho Ping Hoo akan tertawa puas kalau buku sambungan yang dia kehendaki bisa ketemu. "Celakanya, kalau sambungan buku tidak ketemu dan masih di tangan orang lain," ujar Husin, 56 tahun, rekan Syaberawi yang juga menyewakan buku. Tambah Husin lagi: "Sering, si langganan lantas menanyakan di mana si alamat penyewa buku yang dia kehendaki. Biasanya, malam itu juga, ia datangi rumahnya. Pembaca Kho Ping Hoo fanatik sekali untuk membaca ceritera sampai selesai. Dan harus selesai."

Dan berapa pendapatan penyewa buku? "Wah, jangan tanya tentang uang," kata Syaberawi. Dia kemudian memperkirakan setiap malam uang masuk sekitar Rp 1.000 sampai Rp 3.000. "Saya sendiri tak pernah mengantongi uang," tambah Syaberawi lagi. Karena setiap pendapatan uang, telah ada tempatnya masing-masing. Gaji sebagai pegawai kantor pos dia belikan buku baru. "Semuanya, ludas, saya belikan buku," kata Syaberawi lagi. Sebab tanpa tambahan buku baru, penyewa buku akan merosot jumlahnya atau lari ke kios lain yang mempunyai perpustakaan lebih komplit.

Hasil sewa buku, dia bagi. Sebagian untuk celengan dan sebagian lagi untuk mempertebal asap di dapur. Karena itu dia tidak pernah merasa paceklik. kalau tanggal tua, seperti kebiasaan pegawai negeri pada umumnya. Sebab, buka kios sebentar, uangpun - masuk. "Biarpun cuma limabelas rupiah atau seratus," tambahnya lagi. Karena itu Syaberawi merasa seperti orang kaya. Hidupnya tetap sederhana, "tapi tak pernah saya tidak berduit. Itu 'kan artinya kaya," katanya. Tambahnya lagi "Masuk kios dan saya pandangi deretan buku-buku yang saya miliki, dada saya terasa lapang. Rasa bahagia."

Isterinya, tentu juga puas. Kini selain bisa gratis membaca buku apa saja, dia juga membantu sang suami, kalau langganan datang pagi hari yaitu sementara Syaberawi bekerja di kantor. Husin, rekan Syaberawi, memulai usaha sedikit lain. Dia tadinya juga kutu buku. Buku-buku ilmu pengetahuan dan sastera yang dibelinya, dia coba untuk dipajang di kios yang baru dibukanya. Orang sepi-sepi saja. Dia tambahkan beberapa ceritera bergambar, komik silat dan novel-novel karangan Motinggo Boesye, Ashadi Siregar, Marga T., Abdullah Harahap. Eh, penyewa mulai berdatangan. Tidak menoleh ke buku pengetahuan dan sastera yang telah dipajangnya terlebih dahulu, tapi ke koleksi Husin yang terakhir. Karena terdesak oleh komik dan novel pop, buku sastera kemudian masuk peti dan buku pengetahuan kembali ke rumah.

"Dulu, 10 kali disewakan, modal telah kembali," kata Husin, "kini 20 kali disewakan, baru modal bisa kembali." Husin mengeluh tentang mahalnya harga buku. Sekarang buku silat per jilid berharga Rp 250. Dulu cuma Rp 150. Karena itu novel terpaksa dia sewakan Rp 100 dan silat Rp 20. "Idealnya sewa buku harus 10% dari harga buku," tambah Husin. Tapi daya sewa orang awam tak dapat ditingkatkan, khususnya untuk komik dan silat.

Penggemar buku silat memang luas sekali. Mulai dari tukang beca, pedagang, pelajar sampai bapak jaksa. Sering tampak buku silat seri Kho Ping Hoo berjajar dengan kitab Yassin. Rupanya penghuni rumah seusai mengaji, disambung dengan Kho Ping Hoo, kemungkinan besar sampai kokok ayam bersahutan tanda subuh telah tiba.

"Tapi risikonya banyak, dalam menyewakan buku," ujar Syaberawi. Yang getol membaca, biasanya memberikan uang jaminan Rp 2.000 sampai Rp 3.000 dengan syarat, pemilik kios harus memberikan buku baru kepadanya terlebih dahulu. Ada juga langganan yang mengomel karena dia tidak dilayani terlebih dahulu. Yang menyedihkan kalau buku kembali penuh dengan coretan gambar dan komentar. Bahkan ada lembaran halaman yang sobek dan hilang. Lembaran yang hilang, berarti buku sudah tidak bisa disewakan lagi. Kalau uang sewa belum tertutup impas dari harga buku tersebut, rugilah yang diderita oleh pemilik buku.

Sialnya lagi kalau buku tidak dikembalikan. Lebih sial pula kalau yang tidak dikembalikan itu adalah jilid terakhir sebuah ceritera silat yang menarik. Karena itu tukang sewa selalu memesan buku lebih dari sebuah untuk buku yang diperkirakan akan banyak mendapat pasaran baca. Langganan biasanya selain dicatat nama dan alamat, harus memberikan sejumlah uang jaminan. Uang mana bisa sewaktu-waktu dikembalikan kalau buku yang disewanya kembali pula. Biasanya sedikit berkurang dari harga beli buku. Kalau langganan orang biasa, justeru Husin atau Syaberawi tidak mengalami kesulitan. Celakanya, kalau yang menyewa buku itu orang gedean dari kota tcrsebut. Dimintakan uang jaminan, biasanya dibalas dengan suara gertakan: "Masak nggak percaya sama saya. Kenal kan saya ini siapa?" Kalau sudah ada suara demikian, pemilik kios harus mafhum. Buku diberikan, tanpa uang jaminan.

"Puas tidaknya membaca buku yang kami sewakan," kata Husin, "terpancar dari raut muka pembaca. Biasanya kami mencoba mengecilkan rasa tidak puas pembaca." Syaberawi sendiri menyatakan kepuasan hatinya setelah dia ber-dwifungsi sebagai pegawai kantor pos dan tukang menyewakan buku. Sepuluh tahun lamanya sudah, dia bergelut dengan buku-buku. Karena itu, tidaklah heran kalau separuh truk akan penuh oleh buku-buku bila dia boyong untuk bertugas di kota lain. "Betul, melihat tumpukan buku saja saya sudah merasa kaya," kata Syaberawi.

Dari : majalah.tempointeraktif.com