Jumat, 10 Desember 2010

Gambaran Dunia Buku Hiburan di Indonesia 1978


14 JANUARI 1978
Sekedar mempertebal asap dapur
SYABERAWI adalah laki-laki berusia 40 tahun. Pekerjaan sehari-hari secara resmi, pegawai kantor pos setempat, kota Martapura Kalimantan Selatan.

Isteri Syaberawi tergila-gila pada bacaan komik yang berisi ceritera silat. Setiap hari sambil belanja di pasar, selain sayur dan lauk yang dibelinya, ada pula setumpukan buku silat yang dipinjam berdasarkan sewa. Sering, "lauk bertambah kecil, sedangkan tumpukan buku yang dibawa bertambah besar," ujar Syaberawi.

Jengkel karena uang dapur digerogoti untuk menyewa komik, sementara nafsu isteri untuk membaca tidak dapat dibendung, dijuallah kendaraan satu-satunya yang dimilikinya. Sebuah sepeda motor DKW. Dia percaya bahwa Tuhan maha pemurah dan setiap orang bisa mencari rezeki kalau saja dia mau berusaha. Uang hasil penjualan DKW itu dia belikan buku-buku komik dan sebuah kios yang terbuat dari papan dan seng.

Tidak Paceklik Kini, di sisi Balai Pemuda di kota Martapura, kios buku Syaberawi cukup banyak dicari orang. Selepas magrib, Syaberawi menyalakan lampu stromkingnya. Kiosnya mulai dibuka sekitar jam 19.00. Satu-satu para langganan muncul. Ada yang mengembalikan sebuah dua buah buku.

Tidak jarang ada yang membawa sebakul buku yang harus dikembalikan. Ini yang tergolong kutu buku. Ada pula yang datang cuma untuk numpang baca di tempat. Sewa setiap jilid buku komik, Rp 15 sehari. Sebuah novel yang lagi Pop, Rp 50. Tumbuhnya berbagai cergam, buku silat atau novel, telah menaikkan rezeki penyewa buku dengan lebih lumayan.

Kalau cuaca baik, kios dibuka sampai jam 11.00 malam. Tidak jarang, tengah malam rumahnya toh digedor orang, sementara dia sedang nyenyak tidur. Bukan apa-apa, itu cuma seorang pembaca silat yang kecanduan dan ingin membaca ceritera lanjutannya malam itu juga. "Biasanya mereka yang kecanduan membaca ceritera silat karangan Kho Ping Hoo," ujar Syaberawi. Apa boleh buat, langganan adalah raja. Syaberawi pun bangun dari tidurnya dan biarpun gerimis, dia berjalan setengah melek menuju kiosnya untuk mengambil buku yang dikehendaki si pecandu.

Pecandu Kho Ping Hoo akan tertawa puas kalau buku sambungan yang dia kehendaki bisa ketemu. "Celakanya, kalau sambungan buku tidak ketemu dan masih di tangan orang lain," ujar Husin, 56 tahun, rekan Syaberawi yang juga menyewakan buku. Tambah Husin lagi: "Sering, si langganan lantas menanyakan di mana si alamat penyewa buku yang dia kehendaki. Biasanya, malam itu juga, ia datangi rumahnya. Pembaca Kho Ping Hoo fanatik sekali untuk membaca ceritera sampai selesai. Dan harus selesai."

Dan berapa pendapatan penyewa buku? "Wah, jangan tanya tentang uang," kata Syaberawi. Dia kemudian memperkirakan setiap malam uang masuk sekitar Rp 1.000 sampai Rp 3.000. "Saya sendiri tak pernah mengantongi uang," tambah Syaberawi lagi. Karena setiap pendapatan uang, telah ada tempatnya masing-masing. Gaji sebagai pegawai kantor pos dia belikan buku baru. "Semuanya, ludas, saya belikan buku," kata Syaberawi lagi. Sebab tanpa tambahan buku baru, penyewa buku akan merosot jumlahnya atau lari ke kios lain yang mempunyai perpustakaan lebih komplit.

Hasil sewa buku, dia bagi. Sebagian untuk celengan dan sebagian lagi untuk mempertebal asap di dapur. Karena itu dia tidak pernah merasa paceklik. kalau tanggal tua, seperti kebiasaan pegawai negeri pada umumnya. Sebab, buka kios sebentar, uangpun - masuk. "Biarpun cuma limabelas rupiah atau seratus," tambahnya lagi. Karena itu Syaberawi merasa seperti orang kaya. Hidupnya tetap sederhana, "tapi tak pernah saya tidak berduit. Itu 'kan artinya kaya," katanya. Tambahnya lagi "Masuk kios dan saya pandangi deretan buku-buku yang saya miliki, dada saya terasa lapang. Rasa bahagia."

Isterinya, tentu juga puas. Kini selain bisa gratis membaca buku apa saja, dia juga membantu sang suami, kalau langganan datang pagi hari yaitu sementara Syaberawi bekerja di kantor. Husin, rekan Syaberawi, memulai usaha sedikit lain. Dia tadinya juga kutu buku. Buku-buku ilmu pengetahuan dan sastera yang dibelinya, dia coba untuk dipajang di kios yang baru dibukanya. Orang sepi-sepi saja. Dia tambahkan beberapa ceritera bergambar, komik silat dan novel-novel karangan Motinggo Boesye, Ashadi Siregar, Marga T., Abdullah Harahap. Eh, penyewa mulai berdatangan. Tidak menoleh ke buku pengetahuan dan sastera yang telah dipajangnya terlebih dahulu, tapi ke koleksi Husin yang terakhir. Karena terdesak oleh komik dan novel pop, buku sastera kemudian masuk peti dan buku pengetahuan kembali ke rumah.

"Dulu, 10 kali disewakan, modal telah kembali," kata Husin, "kini 20 kali disewakan, baru modal bisa kembali." Husin mengeluh tentang mahalnya harga buku. Sekarang buku silat per jilid berharga Rp 250. Dulu cuma Rp 150. Karena itu novel terpaksa dia sewakan Rp 100 dan silat Rp 20. "Idealnya sewa buku harus 10% dari harga buku," tambah Husin. Tapi daya sewa orang awam tak dapat ditingkatkan, khususnya untuk komik dan silat.

Penggemar buku silat memang luas sekali. Mulai dari tukang beca, pedagang, pelajar sampai bapak jaksa. Sering tampak buku silat seri Kho Ping Hoo berjajar dengan kitab Yassin. Rupanya penghuni rumah seusai mengaji, disambung dengan Kho Ping Hoo, kemungkinan besar sampai kokok ayam bersahutan tanda subuh telah tiba.

"Tapi risikonya banyak, dalam menyewakan buku," ujar Syaberawi. Yang getol membaca, biasanya memberikan uang jaminan Rp 2.000 sampai Rp 3.000 dengan syarat, pemilik kios harus memberikan buku baru kepadanya terlebih dahulu. Ada juga langganan yang mengomel karena dia tidak dilayani terlebih dahulu. Yang menyedihkan kalau buku kembali penuh dengan coretan gambar dan komentar. Bahkan ada lembaran halaman yang sobek dan hilang. Lembaran yang hilang, berarti buku sudah tidak bisa disewakan lagi. Kalau uang sewa belum tertutup impas dari harga buku tersebut, rugilah yang diderita oleh pemilik buku.

Sialnya lagi kalau buku tidak dikembalikan. Lebih sial pula kalau yang tidak dikembalikan itu adalah jilid terakhir sebuah ceritera silat yang menarik. Karena itu tukang sewa selalu memesan buku lebih dari sebuah untuk buku yang diperkirakan akan banyak mendapat pasaran baca. Langganan biasanya selain dicatat nama dan alamat, harus memberikan sejumlah uang jaminan. Uang mana bisa sewaktu-waktu dikembalikan kalau buku yang disewanya kembali pula. Biasanya sedikit berkurang dari harga beli buku. Kalau langganan orang biasa, justeru Husin atau Syaberawi tidak mengalami kesulitan. Celakanya, kalau yang menyewa buku itu orang gedean dari kota tcrsebut. Dimintakan uang jaminan, biasanya dibalas dengan suara gertakan: "Masak nggak percaya sama saya. Kenal kan saya ini siapa?" Kalau sudah ada suara demikian, pemilik kios harus mafhum. Buku diberikan, tanpa uang jaminan.

"Puas tidaknya membaca buku yang kami sewakan," kata Husin, "terpancar dari raut muka pembaca. Biasanya kami mencoba mengecilkan rasa tidak puas pembaca." Syaberawi sendiri menyatakan kepuasan hatinya setelah dia ber-dwifungsi sebagai pegawai kantor pos dan tukang menyewakan buku. Sepuluh tahun lamanya sudah, dia bergelut dengan buku-buku. Karena itu, tidaklah heran kalau separuh truk akan penuh oleh buku-buku bila dia boyong untuk bertugas di kota lain. "Betul, melihat tumpukan buku saja saya sudah merasa kaya," kata Syaberawi.

Dari : majalah.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar